Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia
menggilirkan kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah l adalah memunculkan di tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ
الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ
لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi
umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian
ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul
Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin
‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin
Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah l melimpahkan
rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad
bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin
Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau
berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah
dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin
Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang
agung ini -semoga Allah l merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal
10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di
antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak,
sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya
gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya
termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Jenghis Khan
tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan
sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah l betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan
bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir t mengatakan:
“Mereka sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun.
Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang lainnya.
Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.” Tetapi belakangan, banyak dari mereka
yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga
berbagai kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar
biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran
akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga
mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek
beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab
Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa
petunjuk. Seolah-olah Allah l telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan
akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai
terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau
dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama saudara-saudaranya yang
lain. Mereka berangkat di malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan
di atas gerobak karena tidak mempunyai kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh.
Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan
(istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos
dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah?
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji
dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’,
sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu
tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah
melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau
berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan
nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin
Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat,
sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.
Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah t, tumbuh dalam
pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan
pengabdian kepada Allah l. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta
sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua
matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara.
Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat
membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh
Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya,
Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena
melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan
cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan
yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari
beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar
ma’ruf nahi munkar, Allah l anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku
yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia tentang
keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan
dalam Al-Wafi bil Wafayat (2/375): “Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul
Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya
dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan
makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah
sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan
tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu
menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang,
tanpa mencelanya sedikitpun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah n sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ n طَعَامًا
قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ
وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Tidaklah pernah Rasulullah saw mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan
bila tidak, beliaupun meninggalkannya.”
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya,
membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan
musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan, dan
inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu
Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu
ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan
keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah k berulang-ulang:
“Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah
ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya
istighfar (memohon ampun) kepada Allah l lebih kurang seribu kali, hingga dada
saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada
Allah. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan
Rabbnya dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai
tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai
matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak
menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu
mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang
berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.”
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya
mengatakan: “Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman
saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan
keislaman yang baik.”
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim t menukil sebuah ucapan beliau tentang
ketakwaan: “Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang
harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas
orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak pula
memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan
Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja
Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan
rencana untuk menguasai kerajaan ini?”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh
yang hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi
Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya
sepeserpun bagi saya.”2
Ibnu Katsir t, salah seorang murid yang mencintai beliau,
menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika
kembali ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama
adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian
berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir meminta
Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati
beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bahkan Sultan An-Nashir mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang
menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh
Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr
Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang
loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya
kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau
justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut.
Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Bahkan
beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka. Kata beliau
kepada Sultan: “Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya Baginda tidak akan
menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti mereka. Adapun mereka yang
menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya tuntut apapun, ed.), dan saya tidak
akan berusaha mencari pembelaan untuk diri saya.”
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’
wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak
ditujukan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Tidak sepantasnya seseorang mengikat
prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul
Islam di Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan
orang-orang Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan
membunuh orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka
siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal.
Mereka membantah: “Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal?”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya
mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi
Malikiyah, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul
Islam dipenjara: “Semoga Allah l merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa
terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami, ketika kami
berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta melakukan makar
terhadapnya.”
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar
dari satu majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan
risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar.
Terlebih lagi Allah l menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat
sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam ingatannya,
baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67
dari majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: “Di antara
keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah Syaikhul
Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena beliau pernah
melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu juga isi kitab itu
telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia mengulang-ulang dan menukilnya
dalam tulisan-tulisannya secara tekstual atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar
tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau
masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman,
lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau berangkat
bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan
kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap
menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama
saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman
tersebut, dan kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau
telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan
ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?’
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini
tadi, ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di
tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah
menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab itu
kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang
telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium
keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada
siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain
(mata hasad) menimpa putranya tersebut.”
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari
Halab datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat
cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut.
Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat
belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu
Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu
tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada kemudian
menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu
memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi.
Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari
batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu
memerintahkan beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar
menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan
bahwa kalau anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang.
Karena belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.
Guru dan Murid Beliau
Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa
orang guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili,
Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu Abi
‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang jumlahnya. Murid-murid
beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan
mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling
banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah t.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t mengatakan: “Seandainya Syaikh
Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid
yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah –pengarang
beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung dan musuh beliau–,
itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa agung kedudukan beliau
(Ibnu Taimiyah).”
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir t, penyusun tafsir
yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir
dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di pemakaman
Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun
Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul
I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t penulis Fathul Bari Syarh
Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah l sambil minum zamzam di dekat
Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’
tam) seperti yang Allah l beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar t menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin
Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri t, dia pernah menghadiri majelis
Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah
al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir
sejenak, lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban
dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair,
lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan) tentu
akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar
menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah n, beliau tidak lupa
mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan
Rasulullah n. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat
mengikuti Sunnah Rasulullah n daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau
membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam
Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam
Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits As-Sukkariyah
di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki
Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin
Al-Marhal, dan Asy-Syaikh Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang
dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui
tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan
persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta yang hadir.
Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah
Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang
ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan
meskipun dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa
ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau
menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis
ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai
menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau
untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar